Work from Home (WfH), begitu populernya saat pandemi ini. Tak terkecuali aktivitas lainnya, belajar, belanja bahkan silahturahmi dari rumah. Bertemu langsung secara fisik, seakan sudah tak diperlukan lagi. Fungsi rumah atau bahkan kamar menjadi berubah, bukan sekadar kumpul keluarga atau media istirahat. Semua jadi satu dalam aktivitas di rumah. Setiap anggota keluarga punya kavling masing – masing sebagai tempat bekerja, belajar, kursus, arisan virtual ataupun lainnya.
Dari peralatan yang paling simpel, sekadar smart phone, sampai dengan peralatan yang lengkap mulai green screen, property pod cast, multi kamera, bahkan properti bak studio TV seakan dibawa ke rumah.
Inilah dampak negatif sekaligus positif dari pandemi ini. Orang – orang dari usia belia sampai tua diajak untuk semakin adaptif dengan teknologi, cara-cara konvensional tak lagi dipuja, orang dipaksa dengan cara dan gaya baru, era virtual, era digitalisasi.
Bepergian-pun menjadi terbatas dan dibatasi, dengan berbagai aturan dan kebijakan. Naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi-pun memerlukan bukti fisik bebas COVID-19, yang membawa konsekuensi biaya tambahan. Belum lagi, interaksi di tempat umum yang riskan, memunculkan kerumunan, berdesakan, dan peluang tertularnya virus ini.
Spirit mengoptimalkan program 3M, yang sekarang berkembang menjadi 6M memang perlu dilakukan. Kembali pada aktivitas fokus dari rumah layak jadi pilihan. Keluar rumah jika urgent dan yang sangat dibutuhkan.
Virtual tourism, sebuah bentuk aktivitas wisata ke destinasi tertentu secara virtual, dilakukan di rumah dengan cara mengikuti melalui media virtual, seperti Zoom, Youtube atau jaringan sejenisnya. Dibuat secara live, yang artinya pada saat itu juga para pemandu menyajikan cerita dan mengantarkan ke objek wisata secara live, pada waktu yang sama, walau dimungkinkan beberapa potongan videonya telah direkam dan disiapkan sedemikian adegan per adegan.
Tentunya pengalaman yang dirasakannya pun tak kan nyata, “that’s not a reality.” Kita tak akan merasakan desiran angin gemerisik, gemericiknya air, sejuknya udara, panasnya pantai, sentuhan pada arca, uniknya warna batik pewarna alami ataupun bau asap dapur dari sebuah pawon (dapur) gudeg di Jogja.
Ada yang hilang dan ada yang tidak komplit dalam sebuah virtual tourism yang dilakukan. Tapi minimal ini bisa menjadi obat rindu bagi wisatawan, yang berwisata dari rumah.
Di balik itu semua, yang masih punya kerjaan dari aktivitas ini adalah pengelola destinasi yang mencipta virtual tour yang dilibatkan dan pemandu wisata. Lantas bagaimana halnya dengan penjaja kopi, kue-kue lokal di sekitaran destinasi, penjaga parkir, penjual oleh-oleh dan suvenir. Mereka tak terlibat lagi pada event virtual tour ini.
Kerinduan ini tak hanya memanjakan mata ataupun telinga yang mampu mendengarkan alunan musik yang menghentak di HardRock Cafe, menikmati dangdutan di Liquid Club atau suara rampak Angklung Mang Udjo.
Mulut ini rindu ikan bakar tepi pantai yang fresh, kopi tubruk angkringan tugu jogja atau Pempek Palembang. Hidung ini ingin menghirup Kembali Kopi Kimteng Riau, Aroma Nasi Kapau di Pasar Bawah Bukittinggi ataupun aroma ikan bakar di sepanjang tepian kota Jayapura.
Dan nilai rasa dalam diri ini merindukan sapaan halus, bapak-bapak becak di sepanjang Malioboro, teriakan sapa lugas ataupun “pisuhan” (khas Suroboyoan), ataupun hiruk pikuk Kota Medan, yang penuh semangat dan gegap gempita. Itu semua tak mampu di-virtual kan secara sempurna.
Disisi yang lain, bila kita rindu Soes Merdeka, roti khas Bandung yang melegenda (sejak 1969), mereka terus berinovasi, jualan online, memasarkan melalui Instagram dan memperkuat tampilan website.
Ketika kita rindu Amplang Mei-Lan Banjarmasin, cobalah kita buka Tokopedia. Bahkan Ketika kita kangen gethuk goreng Sokaraja Banyumas, kita coba transaksi di Bukalapak. Produk itu akan sampai di kita.
Ada yang menarik lagi. Ketika kita rindu kafe, dan kita enggan dating ke kafe. Ada tawaran kafe-kafe tertentu yang bersedia mengirimkan barista dengan beberapa item propertinya, itu dalam rangka menjaga agar interaksi menjadi lebih privat, lebih aman dan Kesehatan lebih terjaga.
Tapi memang hari ini, kita sebagai wisatawan belum diperlakukan secara istimewa. Kita hanya memperoleh sesuatu yang parsial saja. Ini masih dalam proses belajar. Untuk menemukan konsepsi virtual tourism yang lebih matang dan komplit.
Barangkali kita memang dianalogikan pada situasi puasa, belum boleh banyak ke mana-mana. Bahkan ada ungkapan, “dulu bisa ke mana-mana gak punya biaya. Sekarang ada dana, gak bisa ke mana-mana.”
Biarlah pandemi ini berakhir. Biarlah puasa ini terlampaui sampai saat hari raya tiba. Sampai saat di mana kita bisa mengobati kerinduan pada tempat, pada makanan dan kemolekan sebuah destinasi dengan ke-khasan dan ke-lokal-annya. Itulah makna sebenarnya berwisata.