Customer Supports
For Member Only
Welcome,
Guest
|
|
Selama ini, minoritas Tionghoa di Indonesia sering dianggap sebagai sebuah kelompok etnis yang berkecimpung semata-mata dalam bidang ekonomi, sehingga kurang perhatian orang terhadap aktivitas mereka dalam bidang politik, sastra, pers. Apalagi ihwal kebudayaan sering diabaikan.
Memang kelompok minoritas keturunan Tionghok ini mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, karena proses interaksi dengan kelompok lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, telah mengalami perubahan yang sangat berarti. Proses yang sering disebut akulturasi (adaptasi) ini telah menimbulkan kebudayaan golongan Tionghoa yang khas dan mulai makin berakar di bumi pertiwi ini. Padahal sebetulnya proses ini tidak terbatas pada kelompok etnis Tionghoa saja, tetapi mencakup semua kelompok di Nusantara. Semua kelompok sering mempengaruhi satu sama lain dan memperkaya kebudayaan masing-masing. Akan tetapi golongan etnis China sebagai minoritas keturunan asing yang tersebar di mana-mana, mengalami perubahan yang jauh lebih besar daripada kelompok-kelompok pribumi yang mempunyai daerah tersendiri. (Leo Suryadinata, 1988:vii-viii) Jejak Tionghoa Dalam percaturan ideologi, agama, ekonomi internasional, memiliki kekuatan yang diwakili oleh Konfusianisme ini juga berkiprah pada kehidupan nasional Indonesia. Rangkaian semacam inilah keberadaan etnis Tiongkok sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia tak bisa dibantahkan lagi. Meningat golongan etnis Tionghoa ini harus pula diakui hak-haknya dalam memelihara dan menghidupi warisan budaya serta kehidupan kerohaniaan mereka. Sebab itu tidak mungkin untuk mengecilkan (menganggap) seolah-olah tidak memahami kenyataan ini. (Th Sumartana, dkk, 1995:xvi) Ingat, bangsa Indonesia dalam kesejarahannya berkaitan erat dengan keberadaan kelompok Tionghoa, baik pada masa kerajaan, penjejahan, orde lama, orde baru, maupun pada masa pasca orde baru. Keberadaan kelompok Tionghoa dalam ranah kesejarahan Indonesia, dikenal sejak masa Sriwijaya mulai runtuh akibat serbuan Singasari. Sriwijaya mengirim utusan beberapa kali ke Tiongkok sejak tahun 960 sampai dengan tahun 988. Utusan yang terkahir menetap di Kanton selama dua tahun karena Sriwijaya diserang oleh tentara dari Cho-p'o. Pada tahun 992 utusan terakhir berlayar kembali, namun hanya sampai di negeri Campa, dan meminta pemerintah Tiongkok agar membuat pernyataan bahwa Sriwijaya berada dalam perlindungan Tiongkok. Ketika Sriwijaya runtuh dan pemerintah sedang kacau, kelompok Tionghoa yang mencapai ribuan berinisiatif untuk melakukan pemerintah sendiri, karena kekacauan Palembang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kelompok pemerintah etnis Tionghoa di Palembang ini memiliki ketertarikan langsung dengan Kaisar Tiongkok. Barulah ketika Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Palembang dan mendirikan masyarakat Islam Tinghoa, kelompok Tionghoa Palembang memaklumatkan diri berada di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Palembang dipimpin oleh Swam Liong (Arya Damar) seorang Tinghoa keturunan anak dari Raja Majapahit dengan selir dari Cina. Arya Damar memiliki dua orang putra, Jin Bun (anak tiri) dan Kin San. Jin Bun dan Kin San yang merantau ke Jawa. Jin Bun menjadi Raja Demak bergelar Raden Fattah dan Kin San menjadi pejabat Majapahit bergelar Raden Kusen di Terung. Kehidupan kelompok Tionghoa di Nusantara pada dasarnya telah membaur dengan masyarakat pribumi. Kelompok pendatang Tionghoa yang umumnya pedagang, banyak yang menikah dengan perempuan pribumi. Besarnya pengaruh pembauran ini mampu mempengaruhi sejarah perkembangan kehidupan kerajaan dengan para rajanya dan perkembangan agama Islam dengan para ulamanya. Bukti besarnya pengaruh pembauran kelompok Tionghoa ini adalah dalam teks sejarah, masih banyak perdebatan dan perbedaan pendapat tentang siapakah para Walisongo dan raja Islam. Pada awal masa perkebangan Islam, Khalifah Umar Ibn Khatab mengirim delegasi Islam untuk menjalin hubungan perdagangan (dan misi dakwah damai) ke Tiongkok. Delegasi yang terdiri dari 15 orang itu dipimpin oleh Sa'ad Ibn Abi Waqqas dengan membawa berbagai cendera mata. (MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, 2012:43-45) Bagi Gus Dur orang-orang Tionghoa yang di negeri asal dianggap sebagai perantau (Hoa Kiauw) di negeri ini menganggap diri dan diterima sebagai warga Negara, dan memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara yang lain, karena mereka lahir di negeri ini dan menjadi warga negara. Sudah sepatutnya mereka dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lainnya. Hanya karena peraturan kolonial yang tertulis, mereka dianggap ‘orang timur asing’ yang hidup damai dengan penduduk asli. Bila kita menggap mereka sebagai orang lain adalah kesalahan besar yang harus dikoreksi. Kalaupun ada kaitan dengan tanah leluhur, itu hanyalah sesuatu yang bersifat kultural dan historis belaka. (Abdurrahman Wahid, 2006:155-157 dan MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, 2012:82-83) Dengan demikian, keterlibatan orang Tionghoa dalam perkembangan kehidupan di Indonesia yang telah dimulai sejak masa Sriwijaya dan perkembangan dunia Islam Nusantara, sejak dulu dari kerajaan Islam, hingga sekarang, tak lepas dari perjuangan para mubaligh Tionghoa. Sumbangan Warga Keturunan Ihwal eratnya agama dengan budaya kata Lie Kim Hok (1853-1912), penulis buku pertama tentang Konghucuisme yang menggunakan bahasa Melayu Betawi (Jakarta) dan diterbitkan pada tahun 1897 di Jakarta, dalam catatannya menuliskan satu artikel panjang berjudul "Agama Tjina" “Agama didefesinikan sebagai adat dan kebiasaan yang digunakan oleh orang hidup untuk berkomunikasi dengan roh-roh. Karena itu, agama adalah sebagian dari budaya. Budaya Tionghoa yang asli terdapat dalam Empat Kitab (Su Si) dan xiaojing (Hauw King) yang juga dikenal sebagai ajaran Konghucu. Sesuai dengan itu, agama Tionghoa terletak dalam ajaran Konghucu. Ringkasnya, agama Konghucu merupakan otak bagi agama Tionghoa.” Budaya berkembang, begitu pun agama. Konghucuisme bergabung dengan unsur-unsur keagamaan lain, yaitu Taoisme dan Buddhisme. Banyak orang Tionghoa di Tiongkok memeluk ketiga agama itu semua, sementara orang-orang Tionghoa di Hindia juga memeluk agama Islam. Namun, demikian Kunghucuisme masih merupakan unsur terpenting dalam budaya Tionghoa. Karena itu, orang-orang Tionghoa di Hindia harus mengikuti ajaran Konghucu. (Leo Suryadinata, 1988:46) Sebagai salah satu bukti kuatnya sumbangan warga keturunan Tionghoa dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara ini bisa dilihat dari bidang pres akan menemukan Surat kabar dan mingguan Sin Po dalam edisi Melayu Tionghoa dan bahasa Tinghoa yang terbit sebelum Perang Dunia Kedua dan terdapat tiga tokoh pers peranakan di Indonesia, seperti Tjoe Bou San (1891-1925), Liem Koen Hian (1896-1952), Kwee Kok Beng (1900-1975). Mengenai surat kabar Tionghoa peranakan yang pertama adalah Li Po yang diterbitkan di Sukabumi Jawa Barat, Pewarta Soerabaia (Surabaya, 1902), Warna Warta (Semarang, 1902), Chabar Perniagaan (Jakarta, 1903, setelah 1904, Perniagaan), Djawa Tengah (Semarang 1909), Sin Po (Jakarta 1910), Bin Seng (Jakarta, 1922), Keng Po (Jakarta, 1923), Sin Jit Po (Surabaya, 1924), Soeara Publiek (Surabaya, 1925, setelah bulan Desember 1928 ejaanya berubah menjadi Swara Publiek), Sin Bin (Bandung, 1925) Keng Po, Nansing (Semarang, 1930), Kiao Seng (Jakarta, 1931), Kong Hoa Po (Jakarta, 1934), Mata Hari (Semarang, 1934), Soeara Semarang (Semarang, 1936), Kung Yen (Jakarta, 1936), Pelita Tionghoa (Jakarta, 1936), Djit Po (Semarang, 1938), Hong Po (Jakarta, 1939) dll. Pada bidang sastra dalam bahasa Melayu rendah. Claudine Salmon, seorang sarjana Prancis dalam bibiografinya "Literature in Malaya by the Chinese of Indonesia" telah mengumpulkan 2.646 judul (73 sandiwara, 183 sajak, 233 terjemahan karya Barat, 759 terjemahan karya Tionghoa dan 1. 398 judul novel dan cerita pendek asli) dan mengidentifikasi 806 pengarang dan penerjemah. Angka ini lebih besar daripada jumlah penulis Indonesia pribumi dan karya-karyanya sebagaimana diidentifikasi oleh Prof A. Teeuw, seorang Indonesianolog Belanda terkenal yang dianggap sebagai pakar tentang sastra Indonesia modern. Salmon berpandangan bahawa beberapa lusin novel peranakan bermutu tinggi dan sebanding dengan tulisan-tulisan Indonesia yang terbaik. (Leo Suryadinata, 1988:100-101) Tentunya, ada empat tokoh sastrawan peranakan sebelum perang dunia kedua, seperti Kwee Tek Hoay (1886-1951), Liem Khing Hoo (Romano) (1905-1945), Pouw Kioe An (Romo, Sastradjaja) (1906-1981), Soe Lie Piet (1904-) dan sesudah perang dunia kedua, seperti Arief Budiman (Soe Hok Djin), Abdul Hadi W. M, Marga T (Tjoa), Mira W (Wijaya atau Wong). Ini semua merupakan tokoh-tokoh sastrawan keturunan Tionghoa. Dalam konteks Jawa Barat yang mengingat keberadaan Ki Sunda (budaya, bahasa, aksara, sastra, agama) tinggal menanti sang penjemput ajal tiba. Ibarat pepatah, hidup enggan mati tak mau. Pasalnya, kehadiran mojang-jajaka selaku generasi penerus sekaligus penjaga khazanah kesundaan tak mau belajar kesundaan. Sekadar contoh, kawula muda malah bangga berkomunikasi dengan memakai bahasa persatuan (Indonesia ala Betawi) di Tanah Pasundan, senang mendengarkan, manyaksikan, ikut-ikutan musik K-Pop (Musik Pop Korea), I-Pop (Musik Pop Indonesia) dengan boyband dan girlband daripada Sundaan (kacapian, karinding, angklung, cianjuran). Seakan-akan identitas kebudayaan Sunda ini sudah tergerus arus globalisasi dan modernitas. Rupanya peran keturunan Tionghoa ini memberikan andil dalam menjaga, melestarikan khazanah Sunda. Salah satunya yang dilakukan oleh Mohammad Deseng alias Tan De Seng yang piawai memainkan kecapi, suling, dan punya Padepokan Pasundan Asih Bandung. Seni sebagai kewajiban dalam menjalani kehedupannya. Berkat kecintaan terhadap seni yang dibuktikan dengan ratusan kaset yang pernah direkamnya tersimpan rapi. Ada jaipong, ketuk tilu, Sunda India, kliningan Sunda, rampak sekar, gendang pencak, dan sebagainya. Pokoknya, semua serba Sunda. Tak mengherankan jika di kalangan penggiat dan penggemar kesenian Sunda, Deseng sering disebut lebih Sunda ketimbang orang Sunda sendiri. (Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2004:70) Sejatinya kehadiran Tahun Baru Imlek (1 Imlek 2573) dengan sio macan air yang jatuh pada tanggal 1 Februari 2022 diharapkan menjadi momentum awal untuk menjaga, melestarikan sekaligus bangga dengan keragaman kebudayaan Indonesia (Sunda, Jawa, Bugis, Minang, Tionghoa) yang mulai terlupakan ini. Kiranya, keterlibataan semua unsur (pemerintah, pemuka agama, rakyat) sangat dinantikan dalam menciptakan peradaban nusantara yang cinta kasih. Pasalnya, suatu bangsa yang beradab akan terus menjaga, memelihara kebudayaannya supaya tetap tumbuh berkembang dan bangga dengan bangsanya. Semoga. Selamat Hari Raya Imlek 2573. Gong Xi Fa Cai.
Attachments:
|
The administrator has disabled public write access.
|