Virus corona yang menyebar ke berbagai belahan dunia tak hanya menimbulkan korban jiwa, tapi juga rasisme terhadap etnis Tionghoa.
Di Vietnam, sejumlah restoran Vietnam memasang tanda “No Chinese” di luar restorannya. Bahkan di Jepang, yang cukup dekat dengan Tiongkok, baik secara geografis maupun tampilan fisik, hashtag #ChineseDon’tComeToJapan menjadi trending topic di Twitter. Efek samping dari ketakutan virus corona asal Tiongkok yang telah memicu kepanikan, sekaligus memunculkan xenophobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing). Situasi serupa juga ditemukan di sejumlah negara-negara Barat.
Washington Post melaporkan bagaimana wabah virus SARS pada 2003 juga melahirkan sentimen anti-Cina. "Beberapa jurnalis mengaitkan wabah SARS dengan laporan tentang pasar-pasar becek di Cina, konsumsi daging-daging 'aneh', dan praktik-praktik 'sanitasi yang buruk'," tulis Washington Post (4/2/2020).
Dalam sejarah, prasangka soal kebiasaan sehari-hari masyarakat lokal yang dipandang asing dan mengundang penyakit ini sering muncul dalam konteks kolonialisme Eropa. Kolonialisme pun tak jarang dijustifikasi dengan alasan penyebarluasan sarana sanitasi dan pemberantasan penyakit. Namun, fakta bahwa orang-orang Eropa tak jarang membawa penyakit ke koloni kerap dilupakan oleh para penganjur kolonialisme. Masyarakat adat di Amerika Latin adalah salah satu saksinya.
Sejak pertama mendarat di Dunia Baru Amerika pada pengujung abad ke-15, orang-orang Eropa tak membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan sebagian besar benua itu. Dibandingkan dengan suku-suku asli Amerika, orang Eropa jelas lebih unggul dalam hal teknologi persenjataan dan organisasi militer.
Para penakluk Eropa punya persenjataan dan pelindung tubuh dari baja yang kuat. Itu pun masih ditunjang dengan bedil dan artileri. Sementara itu prajurit pribumi Amerika masih mengandalkan kapak batu, ketapel, busur dan panah, serta pelindung tubuh sederhana dari kain berbantalan. Mereka juga belum mengenal kavaleri sebagaimana orang Eropa.
Tapi, menurut profesor geografi Universitas California Jared Diamond, semua keunggulan itu hanyalah faktor kesekian yang memengaruhi kesuksesan penakluk Eropa. Penentu kemenangan para conquistadores yang sebenarnya adalah kuman penyakit.
“Jauh lebih banyak penduduk asli Amerika yang tewas di pembaringan gara-gara kuman manusia daripada di medan pertempuran gara-gara bedil dan pedang Eropa. Kuman-kuman itu memperlemah pertahanan orang-orang Indian dengan membunuh sebagian besar orang Indian dan para pemimpin mereka, serta menciutkan nyali orang-orang yang tersisa,” tulis Diamond dalam bukunya yang terkenal Bedil, Kuman, dan Baja: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia (2018, hlm. 261-262).
Sebelum Christoffa Corombo alias Columbus menjejak Hispaniaola pada 1492, hampir tak ada penyakit menular ganas di Amerika. Bersamaan dengan pendaratan-pendaratan mereka di Dunia Baru, orang Eropa ikut pula membawa kuman penyakit ganas macam pes, influenza, campak, sefilis, tuberkolusis, malaria, hingga cacar. Kuman-kuman penyakit ini jadi momok mematikan bagi penduduk asli Amerika yang tak pernah terpapar sebelumnya dan karena itu mereka tak memiliki kekebalan alami.
Contoh yang tepat untuk menggambarkan kengerian yang menyertai kuman-kuman dari Eropa ini adalah wabah cacar yang “membantu” kemenangan Hernan Cortes atas Imperium Aztec di Meksiko.
Petualangan Cortes di Amerika dimulai pada 1504. Setelah bekerja untuk otoritas Spanyol di Hispaniola, ia bergabung dalam ekspedisi Diego Velazquez ke Kuba pada 1511. Velazquez sukses menguasai Kuba dan mendapat jabatan sebagai gubernur, sedangkan Cortes bekerja sebagai pegawai bendahara dan pernah menjabat walikota Santiago. Pengalaman selama menaklukkan Kuba ini bikin Cortes terobsesi memimpin sebuah ekspedisi sendiri.
Pada 1519 armada Cortes berangkat menuju Amerika daratan meski tanpa restu Velazquez. Cortes beserta sekitar 600 tentara Spanyol mendarat di Semenanjung Yucatan (kini wilayah Meksiko). Dari sana ia perlahan menaklukkan permukiman suku-suku asli di pesisir Meksiko dan menjalin aliansi dengan mereka.
Pada November 1519 Cortes dan aliansinya mencapai ibu kota Kekaisaran Aztec Tenochtitlan. Kaisar Montezuma II yang semula menyambutnya dengan tangan terbuka disandera dan dipaksa menjadi raja boneka. Bersamaan dengan itu, tentara Spanyol dan aliansinya menyerang dan berhasil menguasai Tenochtitlan.
Kemenangan itu berumur singkat, karena Cortes kemudian dipusingkan oleh pasukan kiriman Velazquez. Pasukan itu diperintahkan menangkap Cortes yang tindakan-tindakannya dianggap melampaui wewenangnya. Cortes berhasil mengalahkan pasukan ini pada April 1520 dan bahkan menggabungkan mereka dalam pasukannya sendiri.
Tapi, ketika ia kembali ke Tenochtitlan, Cortes dihadapkan lagi pada pemberontakan orang-orang Aztec yang dipimpin seorang kaisar baru.
Tentang episode ini, Ensiklopedia Britannica menulis, “Kakak Montezuma, Cuitláhuac, diangkat jadi tlatoani [kaisar] baru dan mengusir para conquistadores beserta sekutunya keluar dari Tenochtitlan dalam serangan berdarah yang dikenal sebagai La Noche Triste. Cortés mundur ke timur ke Tlaxcala, tempat ia perlahan menyusun lagi kekuatan militer selama lebih dari lima bulan.”
Wabah Cacar Menyerang
Kedatangan pasukan Velazquez sekilas terlihat seperti penghalang bagi ambisi Cortes menguasai Aztec. Tapi, siapa nyana pasukan itu malah membawa bala bantuan tak kasat mata yang menentukan kesuksesan Cortes kemudian. Di antara pasukan itu terdapat seorang budak bernama Francisco Eguia yang saat itu tengah terjangkit penyakit cacar.
Kuman cacar Eguai ini lantas dengan cepat menyebar di Semenanjung Yucatan. Pribumi Amerika yang tak pernah terpapar kuman penyakit ini dengan mudah terjangkit, termasuk orang-orang Aztec. Dan dalam waktu empat bulan saja, wabah cacar telah merambah wilayah inti Kekaisaran Aztec, termasuk ibu kota Tenochtitlan.
Penduduk asli Amerika yang terjangkit mulanya mengalami demam tinggi, sakit kepala, hingga sakit perut dan muntah. Beberapa hari kemudian muncul ruam-ruam di hampir sekujur tubuh si sakit. Dalam beberapa hari ruam-ruam itu berubah jadi abses yang dipenuhi cairan dan nanah. Mereka yang tak mampu bertahan biasanya tewas setelah sebulan sakit. Beberapa yang berhasil sintas mengalami kebutaan.
“Tulah itu berlangsung selama 70 hari, menyerang seantero kota dan menewaskan banyak orang. Luka meletus di wajah, payudara, hingga perut kami. Kulit kami tertutup luka yang menyakitkan dari kepala hingga kaki,” tulis sebuah kronik Aztec sebagaimana dikutip profesor kedokteran dari Universitas Indiana Richard Gunderman dalam artikelnya yang tayang di laman The Conversation.
Populasi orang Aztec di ibu kota Tenochtitlan sebelum berlangsungnya penaklukan Hernan Cortes diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa. Serbuan kuman cacar yang tak terbendung itu mengurangi populasi kota itu hingga 40 persen sebelum tahun 1520 berakhir.
Gunderman menjelaskan bahwa korban terbanyak dari wabah itu adalah bayi dan anak kecil. Orang-orang dewasa yang sakit tidak bisa lagi merawat ladang pertanian yang kemudian menyebabkan kelaparan meluas. Kematian masif di kota itu membuat mereka yang sintas luntur semangat tempurnya.
“Epidemi yang dihasilkan akhirnya membunuh nyaris separo populasi Aztec, termasuk Kaisar Cuitlahuac. Orang-orang Aztec yang masih hidup ciut nyalinya karena penyakit misterius yang merenggut nyawa orang-orang Indian namun tak menyentuh orang-orang Spanyol, seolah-olah memandakan betapa orang-orang Spanyol tak bisa dikalahkan,” tulis Diamond (hlm. 262).
Demoralisasi pasukan Aztec dan wabah yang kian menyebar ke seantero Meksiko tentu saja menguntungkan Cortes. Pada Agustus 1521 ia kembali menggalang kekuatan militernya dan melancarkan serbuan pamungkas ke Tenochtitlan. Setelah Kekaisaran Aztec dikalahkan, Cortes lantas mengklaim wilayahnya sebagai bagian dari Kerajaan Spanyol.
Tentu saja, wabah cacar tak berhenti di Tenochtitlan. Selepas teguhnya kolonisasi Spanyol, epidemi cacar yang mematikan beberapa kali pecah di beberapa wilayah Meksiko. Pada pertengahan abad ke-16 itu, populasi pribumi Amerika di Meksiko yang semula diperkirakan mencapai 30 juta jiwa merosot tajam hingga hanya bersisa sekira 1,6-3 juta jiwa saja.
Gunderman juga menyebut bahwa Aztec bukanlah satu-satunya peradaban asli yang tumpas gara-gara kuman bawaan orang Eropa. Selain populasi Indian Amerika Utara, peradaban Maya dan Inca juga hampir musnah oleh cacar dan penyakit Eropa lain seperti campak dan gondong.
Laman Past Medical History menyebut, “Meskipun angka pastinya tidak akan pernah diketahui secara pasti, cacar diperkiraran telah menewaskan antara 40 hingga 50 juta penduduk asli Dunia Baru. Beberapa perkiraan bahkan lebih tinggi dan menyatakan bahwa sebanyak 90 persen populasi meninggal.”